Sabtu, 09 Agustus 2008

NASKAH AKADEMIK MK PENDIDIKAN INKLUSIF DI LPTK

A. Latar belakang

Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.

Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.

Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.

Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah reguler/umum.

Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.

Naskah akademik ini disusun untuk menjadi referensi dan bahan akademik dalam pengembangan Mata Kuliah Pendidikan Inklusif di FKIP UNS.

  1. Konsep Pendidikan Inklusif

1. Pengertian

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)

Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.

2. Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif

a. Pendidikan segregasi

Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

b. Pendidikan terpadu

Pendidikan terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.

c. Pendidikan inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

2. Falsafah pendidikan inklusif

Secara umum falsafah inklusi adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek pendidikan tetapi dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu cita-cita seperti halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu kehidupan masyarakat.

Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.

a. Sekolah ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia

b. Sekolah ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual

c. Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman

d. Sekolah ramah berarti tidak deskriminatif

e. Sekolah ramah menghindari labelisasi

Falsafah pendidikan inklusi juga dapat bermakna :

a. Pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.

b. Belajar hidup bersama dan bersosialisasi. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik

c. Integrasi pada lingkungan. Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.

d. Penerimaan terhadap perbedaan. Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi yang unik

Sekolah ramah menuntut perubahan banyak hal, di antaranya :

a Sekolah ramah menuntut perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua komponen sekolah

b Kesiapan siswa menerima anak khusus

c Kesiapan guru menerima anak khusus

d Kesiapan orangtua menerima anak khusus

e Kesiapan anak khusus dan orangtua anak khusus menerima lingkungan yang tidak ekslusif

f Kesiapan infrastruktur

3. Implikasi manajerial pendidikan inklusif

Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:

2. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.

3. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.

4. Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.

5. Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

6. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.

4. Pro dan kontra pendidikan inklusif

Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.

Pro Pendidikan Inklusif

a. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.

b. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.

c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.

d. SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.

e. Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.

f. Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.

g. Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.

Kontra Pendidikan Inklusif

a. Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

b. Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

c. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.

d. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas.

e. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.

5. Pendidikan Inklusif yang Moderat

Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.

a. Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.

b. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti : bentuk kelas reguler penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler dengan ’pull out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler

6. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif

Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.

7. Tujuan Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :

a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.

b. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar

c. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah

d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran

e. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

  1. Landasan Pendidikan Inklusif

1. Landasan Filosofis

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

b. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).

c. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.

2. Landasan Yuridis

a. UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31 : (1) berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.

b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48 ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.

c. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2) : Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1 ) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.

d. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Estándar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Stándar Nasional Pendidikan meliputi stándar isi, stándar proses, stándar kompetensi lulusan, stándar pendidik dan kependidikan, stándar sarana prasarana, stándar pengelolaan, stándar pembiayaan, dan stándar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas : SDLB, SMPLB dan SMALB.

e. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif : menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.

3. Landasan Empiris

a. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights),

b. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child),

c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World Conference on Education for All),

d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities)

e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The Salamanca Statement on Inclusive Education),

f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on Education for All), dan

g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”,

h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:

(1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;

(2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan

(3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.

Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya:

(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional

(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya

(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas

(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka

(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi

(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta

(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak

(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah

(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini

(10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif

C. Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif

1. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inlusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)

2. Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah

3. Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)

4. Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar

5. Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan

6. Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak

7. Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusi

8. Sekolah tersebut telah terakreditasi

DAFTAR PUSTAKA

Ashman,A.& Elkins,J.(194). Educating Children With Special Needs.

New York:Prentice Hall.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, (2006) Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Depdiknas Jakarta (Draf Naskah tidak diterbitkan)

Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah Pengantar, Bandung : Unipub

Mulyono Abdulrahman (2003). Landasan Pendidikan Inklusif Dan Implikasinya dalam penyelenggaraan LPTK.

Makalah disajikan dalam pelatihan penulisan buku ajar Bagi Dosen jurusan PLB yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yogyakarta, 26 Agustus 2002.

O’Neil,j.(1994/1995).Can inclusion work? A Conversation

With James Kauffman and Mara Sapon-Shevin.

Educational Leadership.52(4)7-11

Stainback,W. & Sianback,S.(1990). Support Networks for Inclusive Schooling:Independent Integrated Education.

Baltimore: Paul H.Brooks.

Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. PARIS:Author.

Warnock,H.M.(1978). Special Educational Needs:Report of The committee of Enquiry into the Education of Handicapped Young People. London: Her Majesty’s, Stationary Office

Rabu, 23 Juli 2008

MATERI, METODEDAN PENILAIAN BINA GERAK

A. PENDAHULUAN

Pendidikan Khusus atau Pendidikan Luar Biasa mendidik anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), yaitu anak-anak yang dalam proses pertumbuhan/perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Jenis anak berkebutuhan khusus meliputi (1) anak dengan gangguan penglihatan, (2) anak dengan gangguan pendengaran, (3) anak dengan gangguan motorik, (4) anak berkemampuan mental rendah, (5) anak berkesulitan belajar, (6) anak berbakat, (7) tunalaras/kelainan tingkah laku dan sosial, serta (9) anak dengan gangguan komunikasi.

Pendidikan anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya berbeda dengan pendidikan untuk anak-anak normal. Karena pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di samping memberikan pendidikan melalui materi pokok dalam setiap mata pelajaran, juga memberikan pendidikan dalam bentuk layanan pendidikan khusus. Bahkan layanan pendidikan khusus ini berbeda-berbeda antara jenis kekhususan/kelainan yang satu dengan yang lain. Menurut Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus dalam Standar Isi yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional pendidikan, layanan khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus itu dimuat dalam apa yang disebut “Program Khusus” untuk setiap jenis kekhususan anak. Dengan demikian cakupan struktur kurikulum pendidikan khusus, meliputi komponen (1) mata pelajaran, (2) muatan local, (3) program khusus, dan (4) pengembangan diri. Khusus komponen “program khusus” meliputi : (a) “orientasi dan mobilitas” (untuk SLB Tunanetra), (b) “bina komunikasi persepsi bunyi dan irama” (untuk SLB Tunarungu), (c) “bina diri” (untuk SLB Tunagrahita ringan, sedang dan tunaganda), (d) “bina gerak” (untuk SLB tunadaksa/gangguan motorik ), dan (e) “bina pribadi dan social” (untuk SLB tunalaras).

Berikut ini akan dibahas secara singkat tentang materi, metode dan penilaian dalam pembelajaran bina gerak di sekolah untuk anak-anak yang mengalami gangguan motorik.

B. ANAK DENGAN GANGGUAN MOTORIK

Bina gerak merupakan program khusus yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar anak yang mengalami gangguan motorik (anak tunadaksa). Meskipun demikian, anak-anak berkebutuhan khusus jenis lain dapat juga membutuhkan program khusus bina gerak, selama yang bersangkutan mengalami gangguan motorik. Misalnya anak berkemampuan mental rendah.

Sebagaimana diketahui bahwa anak yang mengalami gangguan motorik adalah seseorang yang memiliki kelainan fisik dan gangguan fungsi fisik. (a) Kelainan fisik merupakan berbagai kelainan bentuk tubuh yang berhubungan dengan tulang, sendi dan otot. Misalnya mereka yang menyandang kelainan amputie, kelainan bentuk tubuh dan organ gerak, serta dislokasi sendi. Sedangkan (b) gangguan fungsí fisik adalah seseorang yang memiliki kondisi fisik normal tetapi memiliki fungsi fisik yang terganggu atau motoriknya terganggu. Misalnya penyandang polio dan cerebral palsy.

Banyak faktor penyebab gangguan motorik, baik yang terjadi dalam kandungan (spt. faktor penyakit ibu, malnutrisi, gangguan lingkungan kehamilan), faktor yang terjadi saat proses kelahiran (spt. prematuritas, kelahiran dipaksakan, kelahiran dihalangi, anoksia), ataupun faktor yang terjadi setelah kelahiran (seperti faktor penyakit, malnutrisi dan kecelakaan jalan raya/gempa bumi.

Manifestasi gangguan motorik bermacam-macam, mulai dari yang sangat ringan (spt. amputee jari kelingking) sampai yang berat (spt. paraplegia), Berat ringannya kelainan sangat mempengaruhi banyak sedikitnya hambatan anak yang bersangkutan dalam beraktivitas sehari-hari. Yang berarti juga sangat mewarnai variasi kebutuhan rehabilitasi dan habilitasi masing-masing anak.

Ada banyak jenis anak dengan gangguan motorik. Diantaranya poliomyelitis, muskular distropi, cerebral palsy dan anak gangguan motorik jenis kelainan bawaan dan dapatan.

Poliomyelitis merupakan penyakit akut dan menular disebabkan virus polio yang menyerang serabut syaraf penggerak ke sumsum tulang belakang. Akibatnya sistem kerja persyarafan otak ke sumsum tulang belakang terganggu yang mengakibatkan kelumpuhan dan pengecilan otot anggota gerak tubuh. Ada beberapa gejala kelainan yang mungkin juga merupakan komplikasi dari poliomyelitis, yaitu:

(1) Kontraktur atau kekakuan sendi, seperti sendi paha melipat ke depan, sendi lutut melipat ke belakang, sendi telapak kaki jinjit, melipat ke atas, ke luar, ke dalam, sendi tulang belakang skoliosis.

(2) Atropi otot, sehingga kekuatan otot hilang.

(3) Pemendekan urat di sekitar sendi, sehingga terjadi deformitas sendi.

Bentuk hambatan atau kelainan fungsi akibat poliomyelitis diataranya (Abdul Salim, 1996, 2006) :

(1) Kelainan fungsi mobilitas, termasuk kesulitan dari dan ke posisi tengkurap, telentang, berguling, duduk, berdiri, berjalan, dsb.

(2) Hambatan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

(3) Kelainan fungsi sosial psikologis, seperti munculnya perasaan malu, rendah diri dan tidak percaya diri.

(4) Hambatan dalam aspek ekonomis produktif

Diantara kebutuhan rehabilitasi/habilitasi bagi anak yang lumpuh karena polio adalah:

(1) Mengurangi kondisi kontraktur sendi, melenturkan urat yang kaku ataupun memendek, mengatasi otot fleksid, meningkatkan ruang gerak sendi, melatih fungsi koordinasi dan lain-lain melalui berbagai bentuk terapi.

(2) Pemberian alat bantu khusus sesuai kebutuhan seperti brace pendek, brace panjang, skoliosisi, flat foot, sepatu koreksi, splint/bidai,

(3) Bimbingan ADL, baik dengan ataupun tanpa alat bantu.

(4) Bimbingan mobilitas, mulai dari posisi tubuh sampai berjalan.

(5) Bimbingan sosial psikologis untuk menghilangkan dampak negatif kelainan

(6) Pendidikan anak dan orangtua

(7) Bimbingan ekonomi produktif.

Muskular distropi atau MDP adalah hilangnya kekuatan otot secara bertahap dan progresif. Kemunduran dan kelemahan otot ada di otot lurik, tidak diketahui sebabnya, diperkirakan faktor keturunan, di mana ibu membawa gen yang menimbulkan distropi pada anak laki-laki, jarang pada anak perempuan.

Secara garis besar gejala-gejala dan hambatan yang dialami anak MD antara lain ( David Werner, 2002):

(1) Pada waktu duduk, punggungnya membungkuk ke depan, dan sering duduk dengan kedua tangannya menahan berat badan.

(2) Jika berdiri dari duduk, kadang-kadang mengangkat badan dengan bantuan tangan.

(3) Bila bangun dari posisi jongkok, ia mengangkat paha dengan bantuan tangan.

(4) Ada kelemahan otot dan atropi.

(5) Dengan adanya kelemahan otot dan atropi akan timbul kekakuan sendi dan salah bentuk dari sendi.

(6) Ketika berdiri, kadang punggung anak tertekuk ke depan, seperti penderita lordosis.

(7) Otot-otot di pantat lemah, lutut mungkin tertekuk ke belakang untuk menahan berat badan, otot tumit kaku sehingga kalau berjalan berjingkat.

(8) Paha kurus dan lemah, kurang keseimbangannya sehingga sering terjatuh.

(9) Reflek-reflek akan melemah karena otot yang lemah.

(10) Anak muskular distropi tidak mengalami kelainan alat indera; rasa, penglihatan, pendengaran, pengecapan, dan penciuman serta kecerdasan.

Kebutuhan rehabilitasi/habilitasi bagi anak MD diarahkan untuk (1) mempertahankan fungsi tubuh secara keseluruhan, (2) menjaga otot yang normal dengan latihan-latihan serta (3) bantuan mobilisasi khusus secara teratur.

Secara garis besar kebutuhan rehabilitasi/habilitasi anak MD adalah:

(1) Penanganan medis untuk mempertahankan kekuatan otot dan stabilitas sendi guna mencegah deformitas serta mempertahankan postur dan keseimbangan tubuh baik melalui tindakan operatif ataupun terapi.

(2) Bimbingan mobilitas seperti penguatan otot, melenturkan sendi, mencegah deformitas, mempertahankan stabilitas postur tubuh, dll melalui berbagai aktivitas seperti jalan biasa, naik turun tangga, duduk dan bangkit dari kursiroda, dsb.

(3) Bimbingan ADL seperti meraih, menggenggam, menata, membedakan, menyamakan, mensortir, makan, minum, ke toilet, mandi, dsb.

(4) Pemberian alat bantu khusus, seperti splint, brace, kruk, walker, dsb.

(5) Bimbingan sosial psikologis untuk menghilangkan dampak negatif kelainan.

(6) Pendidikan anak dan pendidikan orangtua.

(7) Bimbingan ekonomi produktif.

Cerebral palsy merupakan anak gangguan motorik yang mengalami kekakuan atau kelumpuhan karena sebab-sebab yang terjadi di otak. Umumnya mengenai traktus piramidal, traktus ekstra piramidal, dan cerebellum. Gejala kelainan cerebral palsy berbeda-beda, dilihat dari kelainan fisik­nya dibedakan menjadi penyandang spastik, athetoid, rigid, ataxia dan tremor (Abdul Salim, 1996).

Gejala-gejala yang tampak pada anak CP adalah sebagai berikut:

(1) Kelumpuhan ringan atau berat, berbentuk hemiplegia, quadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia.

(2) Gangguan koordinasi dan keseimbangan

(3) Gangguan perkembangan mental. Biasanya pada anak cerebral palsy yang disertai terbelakang mental disebabkan oleh anoksia cerebri yang cukup lama, sehingga timbul atropi cerebri yang menyeluruh. Kira-kira separuh dari anak-anak cerebral palsy termasuk retardasi mental.

(4) Gangguan komunikasi, artinya anak mungkin tidak memberi respons atau reaksi seperti anak lain.

(5) Mungkin juga ditemukan gangguan penglihatan, misalnya hemi anopsia (gangguan lantang pandang), strabismus atau kelainan refleksi bola mata, gangguan pendengaran, gangguan bicara, gangguan sensibilitas (rasa) dsb.

Ada anak cerebral palsy yang menderita komplikasi seperti:

(1) Kontraktur yaitu sendi tidak dapat digerakkan atau ditekuk karena otot memendek.

(2) Skoliosis yaitu tulang belakang melengkung ke samping disebabkan karena kelumpuhan hemiplegia.

(3) Dekubitus yaitu adanya suatu luka yang menjadi borok akibat mengalami kelumpuhan menyeluruh, sehingga ia harus selalu berbaring di tempat tidur.

(4) Deformitas (perubahan bentuk) akibat adanya kontraktur.

(5) Gangguan mental. Anak CP tidak semua tergangu kecerdasannya, mereka ada yang memiliki kadar kecerdasan pada taraf rata-rata, bahkan da yang berada di atas rata-rata. Komplikasi mental dapat terjadi apabila yang bersangkutan diperlakukan secara tidak wajar.

Penanganan anak CP yang menonjol adalah untuk mencegah terjadinya kontraktur dan deformitas sendi yang diakibatkan oleh spastisitas dan istirahat yang lama pada otot dan sendi. Pada otot dibutuhkan terapi untuk menurunkan spastisitas. Otot-otot yang kaku dilemaskan kemudian dikembangkan kekuatannya, daya tahan dan koordinasi geraknya. Pada sendi yang kaku dilatih gerakannya untuk menjaga dan meningkatkan ruang gerak sendi agar tetap berfungsi dan mencegah kontraktur. Sebaliknya pada otot dan sendi dilakukan latihan-latihan guna mengurangi masalah deformitas sendi.

Cacat bawaan dan cacat dapatan merupakan salah satu jenis anak gangguan motorik . Yang dimaksud di sini adalah hilangnya anggota gerak atas ataupun anggota gerak bawah karena faktor bawaan atau dapatan setelah lahir. Baik anggota gerak yang hilang itu seluruhnya (amelia), sebagian (meromelia) ataupun masih ada jari-jari yang nempel di bahu ataupun di pinggul (phocomelia) (Thoha Muslim, 1996)

Hambatan yang dialami anak cacat bawaan dan dapatan menyebabkan mereka membutuhkan penanganan tertentu untuk (1) mengembangkan pengembalian kemampuan fungsi dari anggota gerak yang hilang, dan (2) penggunaan alat bantu protese dan melatihnya sesuai dengan kebutuhan, serta (3) memberi kemampuan untuk hidup mandiri, termasuk mandiri dalam ADL, mobilisasi dan jalan (Abdul Salim, 1996)

Kebutuhan anak cacat bawaan dan dapatan yang menonjol adalah:

(1) Protese dan bimbingan/latihan penggunaannya.

(2) Kebutuhan protese disesuaikan dengan jenis amputeenya. Macam protese anggota gerak atas dipilih salah satu dari: protese gelang bahu, protese atas/bawah siku, protese jari. Sedang protese anggota gerak bawah dipilih salah satu dari: protese sendi paha, protese atas/bawah lutut, dan protese pergelangan kaki.

(3) Bimbingan mobilisasi. Bagi amputee gerak bawah, mereka membutuhkan latihan mobilitas dengan menggunakan protese seperti cara berdiri dari duduk dan kebalikannya, jalan datar, jalan naik turun tangga, dsb.

(4) Bimbingan ADL. Bagi amputee gerak atas membutuhkan bimbingan khusus gerak fungsional ADL dengan menggunakan protese. Latihan ADL akan lebih sulit dan membutuhkan konsentrasi tinggi ketika latihan ADL dengan protese anggota gerak atas dan protese anggota gerak bawah.

(5) Bimbingan sosial psikologis. Kondisi amputee berdampak rasa rendah diri dan isolasi diri. Dengan diberikan bimbingan sosial psikologis masalah tsb dieliminir. Mengatasi masalah sosial psikologis akan lebih cepat bila anak amputee telah mampu menggunakan protese yang dibutuhkan secara fungsional, sehingga dari aspek kemandirian tidak tergantung orang lain, dan dari aspek kosmetika mampu menaikkan rasa percaya diri anak.

(6) Pendidikan khusus. Melalui bimbingan mobilitas dan bimbingan ADL anak dapat datang dan pulang sekolah. Namun dalam penggunaan protese untuk mengikuti pendidikan membutuhkan perhatian khusus.

C. BATASAN DAN TUJUAN BINA GERAK

Yang dimaksud bina gerak adalah segala usaha yang bertujuan untuk mengubah, memperbaiki dan membentuk pola gerak yang mendekati pola gerak wajar. Bina gerak merupakan perpaduan dari beberapa macam terapi yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ada terapi fisik, terapi okupasi, terapi bermain, terapi musik, terapi psikhis dll. yang satu dengan yang lainnya saling mendukung dan melengkapi.

Latihan bina gerak dalam pelaksanaannya membutuhkan suasana, sikap, lingkungan dan program yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Suasana latihan yang dibutuhkan adalah suasana yang tenang, hening, segar, ceria dan jauh dari kebisingan. Sementara itu sikap yang dibutuhkan dalam latihan adalah sikap pelatih/guru yang dapat menerima kondisi kecacatan anak, sikap kasih sayang, menghargai kemampuan anak, mengendalikan kegelisahan anak, dsb. Sedang program yang dibutuhkan dalam bina gerak adalah program yang jelas dan bervariasi yang disesuaikan dengan kemampuan anak.

Tujuan bina gerak adalah untuk membentuk, merubah dan memperbaiki kemampuan gerak anak. Atau untuk memberikan bekal dan kemampuan gerak yang dapat mengantarkan anak mampu bergerak untuk berpartisipasi, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya secara lebih wajar.

D. MATERI BINA GERAK DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

1. Penguatan Otot yang lemah

Manusia dapat bergerak karena ada sendi, otot dan syaraf. Otot sebagai salah satu komponen alat gerak apabila tidak berfungsi maka akan berpengaruh terhadap fungsi organ gerak yang lainnya (sendi dan syaraf) yaitu dalam bentuk gerak yang tidak normal. Kekuatan otot sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan gerak anak. Salah satu problem besar yang dialami anak gangguan motorik adalah adanya otot yang kurang/tidak kuat (lemah, fleksid, hipotonus), sehingga organ geraknya tidak berfungsi. Seperti yang dialami oleh anak poliomyelitis, MDP, monoplegia, triplegia, quadriplegia, paraplegia, hemiplegia, dsb. Bagi anak tertentu, otot yang lemah dapat karena factor hipotonus (gangguan terletak di traktus pyramidal). Dimana kekuatan dan ketegangan otot mengalami penurunan selama otot berkontraksi ataupun ketika disuruh melakukan gerak aktif. Kelumpuhan otot dapat terjadi pada organ gerak atas maupun organ gerak bawah. Kelumpuhan juga dapat terjadi hanya pada satu organ gerak atau lebih dari satu organ gerak.

Tujuan penguatan otot umumnya untuk menguatkan, menjaga, menyegarkan kerja otot baik dengan ataupun tanpa alat bantu. Alat Bantu yang dibutuhkan bermacam-macam, seperti alat penonggak (kruk), walking paralel bar, stair case, walker, kursiroda, stand in table, wall bar, pulley weight, alat-alat berbentuk silinder, kursi duduk, crawler, tripot, belt, leg skate, bicycle exerciser, dll. Materi bina gerak untuk penguatan otot disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. Program untuk penguatan otot dapat dilakukan terpadu dengan mata pelajaran yang ada di sekolah dan dapat juga diberikan secara mandiri dalam pelajaran bina gerak. Di sekolah-sekolah luar biasa, umumnya pelaksanaan bina gerak ini menjadi bagian dari materi fisio terapi, terapi okupasi, olahraga dan kesehatan atau dapat pula diberikan secara mandiri dalam pelajaran bina gerak..

2. Pelemasan otot yang spastik

Gerak tidak normal karena factor kelainan otot juga dapat dalam bentuk otot yang terlalu tegang (spastic=menegang). Biasanya ini karena hipertonus sebagai akibat dari kelainan yang ada di traktus pyramidal di cerebrum. Bila tonus otot bertambah berlebihan (hipertonus) akan menyebabkan kekuatan gerak sendi bertambah. Kejadian ini juga tidak menguntungkan anak karena gerak sendinya tidak normal. Cirinya: gerakan sendi melipat secara cepat dan pada waktu diluruskan secara cepat juga ada tahanan. Bahkan apabila seluruh otot di sekitar sendi mengalami hipertonus maka sendi tidak dapat digerakkan sama sekali, baik gerak aktif maupun gerak pasif.

Otot-otot yang spastik perlu dilatih untuk menurunkan spastisitasnya, dilemaskan kekakuannya kemudian dikembangkan kekuatannya, daya tahan dan koordinasi geraknya. Dengan spastisitas yang menurun dimungkinkan dapat mengontrol pengaturan pola gerak tubuh dan dapat mengurangi masalah deformitas sendi.

3. Mempertahankan kekuatan otot dan mencegah atropi otot

Atropi otot atau lisutnya atau kemunduran otot sehingga kekuatannya menjadi menurun atau hilang dikarenakan adanya fungsi syaraf yang hilang. Misalnya otot sekitar paha atropi maka lutut susah diangkat, otot di bawah lutut atropi maka telapak kaki susah digerakkan. Demikian juga bila atropi otot terjadi di sekitar perut maka timbul skoliosis, otot di sekitar sendi atropi maka sendi susah diangkat, dsb

Anak-anak dengan gangguan motorik harus senantiasa dilatih untuk bergerak. Terutama gerakan untuk mempertahankan kekuatan otot agar tidak atropi. Di samping itu dengan mempertahankan kekuatan otot juga dapat untuk menjaga stabilitas sendi, mencegah deformitas serta dapat untuk mempertahankan postur tubuh dan keseimbangan tubuh secara keseluruhan.

4. Memperbaiki gerak pada persendian, mencegah pemendekan urat di sekitar sendi

dan mencegah deformitas sendi

Gerakan seseorang sangat dipengaruhi oleh berfungsi tidaknya persendian tertentu yang terkait dengan organ gerak. Akibat penyakit, banyak sendi anak gangguan motorik yang mengalami kekakuan atau kontraktur sendi. Seperti sendi paha yang melipat ke depan, sendi lutut yang melipat ke belakang, sendi pergelangan dan telapak kaki yang menjadi jinjit (kaki eqinus) atau pergelangan kaki yang melipat ke atas (kaki calcanius). Pendek kata akibat adanya kontraktur sendi menyebabkan terjadinya deformitas sendi.

Anak-anak gangguan motorik memerlukan latihan gerak guna mengatasi permasalahan di sekitar sendi. Anak gangguan motorik biasanya yang mengalami permasalahan/gangguan adalah persendian pada sendi bahu, sendi siku, sendi pergelangan tangan, sendi jari tangan, sendi pinggul, sendi lutut, sendi pergelangan kaki, dan sendi jari kaki.

Anak yang memperoleh layanan bina gerak khusus untuk memperbaiki gerak pada persendian sudah tentu disesuaikan dengan kondisi gangguan yang ada pada masing-masing anak. Bagi anak yang mengalami gangguan pada sendi bahu, ia akan memperoleh bimbingan gerak pada persendian sendi bahu. Anak yang mengalami gangguan pada sendi siku, ia akan memperoleh bimbingan gerak pada sendi siku, dan seterusnya.

Beberapa kemungkinan kemampuan gerak sendi adalah:

(a) fleksi (pengetulan sendi/penekukan/membengkok/melengkung, memperkecil sudut),

(b) ekstensi (pengedangan/gerakan meluruskan),

(c) abduksi (menjauhi sumbu panjang),

(d) adduksi (gerakan mendekati sumbu memanjang),

(e) rotasi (putaran),

(f) sirkumduksi (gerakan yang memutar),

(g) pronasi (gerakan memutar tangan bawah ke dalam/panco),

(h) supinasi (pemutaran lengan bawah ke luar),

(i) apotemen (mendekat).

Gangguan gerak persendian pada anak dapat tunggal dapat pula ganda. Sebelum melakukan bimbingan gerak terlebih dahulu dilakukan asesmen. Cara melakukan asesmen dapat dilakukan dengan cara tes dan observasi. Persendian mana yang mengalami gangguan maka sebelumnya harus dilakukan asesmen/observasi pada persendian yang bersangkutan. Caranya dengan meminta anak untuk melakukan gerakan pesendian tertentu sesuai dengan kemungkinan gerak sendi pada persendian yang bersangkutan. Misalnya sendi bahu, sendi ini (bila normal) memiliki kemungkinan empat macam gerakan, yaitu gerak abduksi-adduksi, fleksi-ekstensi, rotasi, sirkumduksi. Apabila saat dilakukan asesmen anak tidak mampu melakukan, maka diasumsikan ia mengalami gangguan pada salah satu bentuk gerakan yang tidak mampu melakukannya tersebut.

5. Menanamkan keterampilan lokomotor

Keterampilan lokomotor merupakan keterampilan gerak dari satu tempat ke tempat lain. Keterampilan dasar lokomotor menjadi sangat penting bagi anak dengan gangguan motorik karena di samping sebagai fondasi untuk mobilitas juga sebagai dasar untuk koordinasi gerak kasar dan gerakan-gerakan otot besar. Keterampilan lokomotor ini menjadi dasar untuk melakukan keterampilan berjalan, melompat, lari, dsb.

6. Menanamkan keterampilan non-lokomotor

Keterampilan non-lokomotor merupakan keterampilan untuk dapat melakukan gerakan tertentu tanpa harus bergerak pindah tempat. Artinya gerakan terjadi tanpa memindahkan tubuh dari satu tempat satu ke tempat lain seperti: bending (belok), stretching (jangkauan/uluran), pushing (dorong) & pulling (tarik), twisting (pelintir) & turning (belok), balancing (keseimbangan) & rolling (gulung).

7. Memperbaiki koordinasi gerak tubuh (Keterampilan manipulatif)

Biasanya gerak seseorang akan dikendalikan oleh syaraf perintah yang berpusat di otak. Apabila media perantara antara otak dengan organ gerak tidak berfungsi maka tidak ada keseimbangan antara maksud/perintah dengan gerakan yang dilakukan. Kondisi demikian banyak dialami anak cerebral palsy.

Agar gerakan anak dapat tepat menuju sasaran dan sesuai dengan isi perintah, maka mereka perlu latihan kegiatan-kegiatan yang berfungsi untuk melemaskan otot dan sendi serta koordinasi gerak.

Materi latihan untuk memperbaiki koordinasi gerak meliputi:

a. Koordinasi gerak antara mata dengan tangan

b. Koordinasi gerak antara mata dengan kaki

c. Koordinasi gerak antara tangan dengan kaki

d. Koordinasi gerak antara mata, tangan dan kaki

e. Koordinasi gerak antara tangan dan kaki dengan indera lainnya (pendengaran, perabaan, penciuman, pencecapan).

8. Keterampilan menggunakan ortotis

Banyak anak dengan gangguan motorik yang dalam melakukan mobilitas membutuhkan alat bantu seperti, brace (LLB, SLB), splint, kruk, kursi roda, dll.

Macam ortotis yang perlu dilatihkan pada anak meliputi ortotis anggota gerak bawah, ortotis anggota gerak atas, ortotis tulang belakang.

Materi pelatihan mencakup pengenalan alat bantu, cara penggunaan, perawatan dan penyimpanannya agar keberadaan alat-alat tersebut benar-benar tepat sasaran.

9. Keterampilan menggunakan protese

Sebagian anak dengan gangguan motorik ada yang anggota gerak tubuhnya hilang. Baik seluruhnya (amelia), hilang sebagian (meromelia) ataupun masih ada jari-jari yang nempel di bahu ataupun di pinggul (phocomelia).

Materi pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. Macam protese ada protese anggota gerak atas, dan protese anggota gerak bawah. Mereka membutuhkan latihan penggunaan alat-alat pengganti organ tubuhnya yang hilang (Protese). Termasuk dalam hal merawat dan menyimpannya, agar protese yang dimiliki anak dapat bermanfaat.

10. Latihan ADL (Activity of Daily Living)

Salah satu hambatan anak tunadaksa adalah dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup keseharian (ADL). Hal ini oleh karena telah terjadinya kegagalan anak dalam mengoreksi posisi gerak tubuh yang benar. Mereka bermasalah dalam ke kamar mandi, makan dan minum, ke WC, ke sekolah, dsb.

Anak-anak tunadaksa membutuhkan latihan dan bimbingan dalam ADL ini.

E. METODE BINA GERAK

Banyak teknik yang dapat digunakan untuk melatih kemampuan gerak anak-anak dengan gangguan motorik. Diantaranya:

1. Aktivitas gerak persepsual (perceptual motor activities)

2. Pendekatan keterampilan (Skills approach)

3. Pendekatan tematik (Thematic approach)

4. Pendekatan permainan (Games approach)

5. Pendidikan olahraga (Sport Education)

1. Aktivitas gerak persepsual (perceptual motor activities)

Aktivitas gerak persepsual merupakan kemampuan dasar anak dalam menerima, menginterpretasi dan merespon secara baik pada informasi sensori. Baik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan. Keterampilan ini penting sebagai preventif untuk keterampilan gerak secara keseluruhan.

Sebagaimana diketahui bahwa persepsi adalah bagaimana mengetahui informasi dan motor yang merefer output dan gerak yang responsive.

Contoh aktivitas untuk mengembangkan kemampuan gerak perceptual adalah:

a. Gross motor activities (locomotor) (berjalan, melompat, berlari, dsb)

b. Vestibular activities (meniti, papan keseimbangan, melompat, terowong silinder, dsb)

c. Visual motor activities (Manipulative) (menata puzzle, menggambar, berjalan di kotak warna, dsb)

d. Auditory motor activities (bernyanyi sambil bergerak)

e. Tactile activities (sentuh, raba, pijat, dsb)

f. Lateralisation activities (kesadaran sisi badan, arah gerakan, dll)

g. Body awareness (kesadaran bagian badan)

h. Spatial awareness (kesadaran posisi ruangan, dsb) (Nawangsari Takarini, 2005)

2. Pendekatan keterampilan (Skills approach)

Latihan keterampilan tertentu dapat digunakan sebagai wahana menanamkan kemampuan gerak anak-anak yang mengalami gangguan motorik. Misalnya keterampilan memegang, menjepit, menangkap, melempar, keterampilan dalam kegiatan hidup sehari-hari (ADL), bina diri, keterampilan menulis, menggambar, dll.

3. Pendekatan tematik (Thematic approach)

Pendekatan tematik menggunakan tema tertentu sebagai sentral/focus perhatian yang digunakan untuk membina kemampuan gerak anak-anak yang mengalami gangguan motorik.Misalnya tema tentang kebersihan sekolah. Seorang guru dapat memanfaatkan tema kebersihan sekolah tersebut untuk melatihan penguatan otot, pelemasan otot, memperbaiki gerak persendian, melatih kemampuan koordinasi, dsb.

4. Pendekatan permainan (Games approach)

Bermain merupakan kegiatan untuk menyalurkan emosi (seperti rasa senang, rasa setuju, rasa kesal) melalui permainan. Banyak jenis permainan yang dapat membantu membina kemampuan gerak anak gangguan motorik , misalnya:

a. Permainan gerak atau fungsi

Permainan ini mengutamakan ger ak yang berisi kegembiraan, misalnya tari gerak dan lagu tentang ”menanam jagung”, ”naik kereta api”, ”ular naga”, ”memetik bunga”, ”naik becak”, ”naik kereta kuda”, ”aku tukang pos”, ”tari topeng”, ”tari kuda kepang”, ”tari boneka”, ”tari lilin”, dsb. Anak-anak diminta memeragakan gerakan-gerakan sesuai dengan lagu/musik yang didengarnya, dengan penuh perasaan dan kegembiraan.Tujuan permainan dengan gerakan ini memang adalah agar anak gembira, bahagia, senang melalui permainan fantasi ini.

b. Permainan distruktif

Permainan istruktif adalah permainan untuk melampiaskan kekesalan hati, dendam, benci, dll agar menjadi puas dan senang. Di dalam permainan ini anak diminta merusak alat-alat permainannya karena seakan-akan ada rahasia di dalam permainan itu. Tujuan permainan ini agar anak menemukan kesenangan dan kepuasan. Oleh karena itu permainan iani tidak boleh berlangsung lama, dan jangan menggunakan alat permainan yang berharga. Setelah itu anak segera dialihkan kegiatan anak dengan permainan yang lain.

c. Permainan konstruktif

Permainan yang membangun ini misalnya dengan cara anak diminta menyusun balok-balok, batu-batu, kayu, dan papan. Tujuannya adalah menghasilkan sesuatu bentuk bangunan yang sesuai dengan fantasinya. Mereka akan bergembira dengan hasil karyanya.

d. Permainan peranan

Permainan peranan, misalnya anak berperan sebagai orang penting. Anak perempuan bermain dengan boneka, masak-masakan, mencuci, menyeterika, dsb. Anak laki-laki berperan sebagai bapak, guru, masinis, sopir, pilot, dokter, pemain senetron, dsb. Permainan peranan ini bertujuan anak menjadi senang dan dapat menimbulkan kepercayaan pada dirinya karena ia dapat berbuat dan meniru segala kegiatan orang-orang penting dalam kehidupan sehari-hari.

e. Permainan prestasi

Di dalam permainan anak berlomba menunjukkan kelebihannya, dalam kelebihan dalam kekuatan, keterampilan maupun dalam kecerdasannya. Permainan ini di samping untuk penyaluran emosi juga untuk melatih kebersamaan, persatuan, persaudaraan, keberanian, gotong royong, dsb. Model permainannya dapat diciptakan atas kreasi anak sendiri ataupun atas kreasi guru.

5. Pendidikan olahraga (Sport Education)

Pendidikan olahraga merupakan salah satu pendekatan yang dapat untuk mengembangkan kemampuan gerak individu. Baik gerak lokomotor, non-lokomotor, koordinasi gerak, penguatan otot, pelemasan otot, mempertahankan kekuatan otot, melatih gerak sendi, dsb.

Para guru dituntut kreativitasnya dalam memilih aktivitas olahraga yang memiliki makna bina gerak, sehingga aktivitas olahraga yang dilakukan dapat memperbaiki kemampuan gerak anak.

6. Bina Gerak melalui Terapi Fisik (physio therapy)

Terapi fisik atau physio therapy merupakan seni dan ilmu pengobatan dengan menggunakan tenaga dan daya alam, seperti air (panas, dingin, kandungan kimia), listrik, sinar, pemijatan, gerakan/gosokan, dsb.

Para guru dapat melatih kemampuan gerak anak dengan mengajak mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bermakna terapeutik yang terkandung dalam cakupan terapi fisik. Misalnya:

a. Mendorong gerobak yang dapat dimuati berbagai macam pemberat. Muatan dapat ditambah dan dikurangi sesuai kebutuhan dan kemampuan kekuatan otot anak.

b. Menarik tambang atau katrol yang diberi berbagai pemberat. Latihan dilakukan dalam bentuk kompetisi untuk menambah semangat

c. Melempar atau menangkap bola dari berbagai ukuran, dari yang kecil sampai yang besar

d. Memegang pipa dengan berbagai ukuran dari yang kecil sampai yang besar

e. Mengangkat benda-benda bermain dari yang ringan sampai yang berat

f. Memutar kincir atau gilingan yang memakai bunyi-bunyian

g. Memukul pasak-pasak

h. Memukul-mukul air di kolam renang

i. Menahan semprotan air

j. Berenang, dsb.

7. Bina Gerak melalui Terapi Okupasi

Sesuai dengan problema yang dialami anak dengan gangguan fisik ada pada aspek

motorik, sensorik, kognitif, intrapersonal, interpersonal, perawatan diri, produktivitas serta leisure. Maka kegiatan terapi okupasi diarahkan untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksud untuk mengembangkan kemampuan motorik, misalnya gerakan dalam :

a. Berjalan di atas balok titian

b. Menarik beban,

c. Membuat sulak

d. Memasukkan manik-manik ke dalam botol, dsb.

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksudkan untuk pengembangan aspek sensoris, misalnya gerakan untuk :

a. Meniup kapas

b. Membedakan suhu: panas, dingin, hangat

c. Mendengarkan bunyi-bunyian

d. Melatih mengecapan,

e. Melatih indera penciuman

f. Melatih indera penglihatan

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksudkan untuk pengembangan aspek kognitif, misalnya gerakan untuk :

a. Menggambar,

b. Bermain puzzle

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksudkan untuk pengembangan aspek intrapersonal, misalnya gerakan untuk :

a. Bernyanyi

b. Bermain drama

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksudkan untuk pengembangan aspek interpersonal, misalnya gerakan untuk :

a. Senam irama

b. Berpelanja

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksudkan untuk pengembangan aspekperawatan diri, misalnya gerakan untuk :

a. Makan dan minum,

b. Memakai baju,

c. Mencuci

d. Mandi

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksudkan untuk pengembangan aspek produktivitas, misalnya gerakan dalam :

a. Berkebun,

b. Membuat asbak

c. Membuat sulak

Bina gerak melalui terapi okupasi yang dimaksudkan untuk pengembangan aspek leisure (pengisian waktu luang), misalnya kegiatan rekreasi.

F. PENILAIAN

Penilaian dalam kegiatan bina gerak dilakukan pada awal, proses dan akhir kegiatan. Metode yang digunakan untuk mengadakan penilaian dapat menggunakan gabungan dari metode observasi, pemberian tugas, tes dan pemijatan atau palpasi.

Cara mengetahui tingkat pencapaian tujuan dengan cara membandingkan kemampuan gerak pada sebelum dengan sesudah pelaksanaan program bina gerak. Misalnya kemampuan gerak fleksi sendi siku semula hanya 90 derajat. Setelah pelatihan bina gerak selama frekuensi yang diprogramkan selesai kemudian di lihat kemampuan fleksinya misalnya menjadi 45 derajat. Ini berarti ada kemajuan kemampuan gerak sendi siku yang bersangkut.

BUKU RUJUKAN

Abdul Salim Ch. 2006. Pediatri Sosial dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Direktorat P2TK dan KPT. Dikti. Depdiknas.

Abdul Salim Ch. 2006. Makalah: Hambatan dan Kebutuhan Anak Gangguan motorik . Jakarta: Direktorat P2TK dan KPT. Dikti. Depdiknas.

Abdul Salim Ch. 1996. Pendidikan Bagi Anak Cerebral palsy. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.

Abdul Salim Ch. 1995. Fisio Terapi dan Bina Gerak. Surakarta: UNS Press.

Abdul Salim Ch. 1990. Bina diri dan layanan Terapeutik Anak Gangguan motorik . Surakarta: UNS Press.

David Werner. 2002. Anak-Anak Desa yang Menyandang Cacat. Malang: Yayasan Bakti Luhur.

Depdikbud. T.th. Pedoman Guru dalam Bina Gerak Anak Gangguan motorik . Jakarta

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar Luar Biasa SLB Tingkat Dasar. Ditjen Dikdasmen.

Ellah Siti Chalidah. 2005. Terapi Permainan bagi Anak yang memerlukan Layanan Pendidikan Khusus. Jakarta: Direktorat P2TK dan KPT. Dikti. Depdiknas.

Mulyono Abdurachman dan Sudjadi S. 1994. Pendidikan Luar Biasa Umum, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen Dikti.

Munzayanah. 1990. Bina diri dan layanan Terapeutik Anak Tunagrahita. Surakarta: UNS Press.

Nawangsari Takarini. 2005. Makalah: Assessment Dan Treatment Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus (Gangguan Motorik). Surakarta: PKh FKIP UNS

PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Sujarwanto. 2005. Terapi Okupasi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat P2TK dan KPT. Dikti. Depdiknas.

UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen